Minggu, 22 Mei 2011

SUSUNAN INTERNAL DAN STRUKTUR SEDIMEN



.1 TINJAUAN UMUM DAN KLASIFIKASI
Berbeda dengan tekstur yang sebaiknya diamati pada sampel genggam atau sayatan tipis, struktur sedimen merupakan gejala yang sebaiknya diamati atau dipelajari pada singkapan. Tekstur berkaitan dengan hubungan antar butir dan akan terlihat dengan jelas di bawah mikroskop; struktur berkaitan dengan satuan-satuan yang lebih besar dan lebih jelas terlihat di lapangan. Dengan demikian, pemelajaran struktur sama tuanya dengan penelitian geologi. Struktur seperti lapisan silang-siur, gelembur, dan lekang kerut telah dijelaskan dalam tulisan-tulisan lama yang dibuat oleh para ahli geologi.
Struktur sedimen primer (primary sedimentary structure) digunakan sebagai indikator agen dan/atau lingkungan pengendap-an. Struktur sedimen tertentu seperti graded bedding dan lapisan silang-siur digunakan untuk menentukan urut-urutan stratigrafi dalam strata yang miring, vertikal, atau strata yang telah terbalik (Shrock, 1948). Akhir-akhir ini, struktur terarah (directional structure) dipakai untuk memetakan arus purba serta untuk menentukan kelerengan purba (paleoslope) dan jurus sedimentasi (sedimentary strike) (Pettijohn, 1962; Pettijohn & Potter, 1963). Para ahli juga memberi perhatian khusus pada struktur biogenik (iknofosil) yang dapat berperan sebagai indikator lingkungan pengendapan. Berbeda dengan fosil tubuh (body fossil), struktur biogenik (biogenic structure) tidak rentan terhadap perombakan atau pengangkutan (Seilacher, 1964a). Terakhir, para ahli untuk kesekian kalinya menelaah kembali struktur arus dan kondisi-kondisi aliran yang membentuknya (Middleton, 1965).
Meningkatnya kembali ketertarikan para ahli terhadap struktur sedimen muncul sebagai efek samping dari pemelajaran sedimen modern dan pemetaan arus purba. Penelitian-penelitian itu telah mendorong diterbitkannya sejumlah monograf mengenai berbagai aspek struktur sedimen, misalnya atlas struktur sedimen (Khabakov, 1962; Potter & Pettijohn, 1964; Ricci Lucchi, 1970), manual struktur sedimen (Conybeare & Cook, 1968), serta monograf tentang struktur sedimen (Gubler dkk, 1966). Selain itu ada pula karya tulis yang khusus membahas kategori struktur sedimen tertentu, terutama struktur bidang perlapisan bawah (sole marks) (Vassovich, 1953; Dzulynski & Sanders, 1962; Dzulynski, 1963; Dzulynski & Walton, 1965) serta mengenai iknofosil dan struktur biogenik (Abel, 1935; Lessertisseur, 1955; Seilacher, 1964b). Perlu juga diketahui bahwa telah terbit berbagai proceedings simposium mengenai struktur sedimen primer dan tafsiran hidrodinamikanya (Middleton, 1965). Selain itu, tidak sedikit pula makalah yang membahas tentang struktur sedimen tertentu serta perlapisan (Andrée, 1915; Zhemchuzhnikov, 1940; Bruns, 1954; Birkenmajer, 1959; Botvinkina, 1959, 1962). Bahkan, sekarang telah terbit pula sebuah manual untuk mempelajari struktur sedimen, terutama sedimen yang ditemukan dalam sedimen bahari modern (Bouma, 1969).
Sejalan dengan makin meluasnya ketertarikan pada terhadap struktur sedimen, ada beberapa ahli yang mencoba untuk menyusun sistem tatanama dan skema klasifikasi struktur sedimen. Ada dua ancangan yang dapat digunakan untuk meng-golongkan struktur sedimen: (1) ancangan morfologi; dan (2) ancangan genetik. Dengan ancangan pertama, para ahli mencoba untuk menggolongkan struktur sedimen berdasarkan bentuk atau geometrinya serta tempatnya dalam lapisan sedimen (pada bidang perlapisan atau dalam lapisan). Klasifikasi genetik mengelompokkan struktur sedimen berdasarkan proses-proses yang terlibat dalam pembentukannya, misalnya menjadi kelompok sedimen biogenik, hidrodinamik, dan rheologi (Nachtegaal, 1965; Elliott, 1966). Klasifikasi genetik didasarkan pada satu asumsi bahwa kita telah mengetahui secara pasti asal-usul setiap struktur sedimen. Asumsi seperti itu sudah barang tentu tidak selalu dapat terpenuhi. Selain itu, sebagian struktur sedimen demikian kompleks sehingga tidak mudah untuk menentukan asal-usulnya. Ada pula struktur sedimen yang pembentukannya melibatkan lebih dari satu proses. Contohnya adalah sidik seruling (flute cast) dan gelembur pasir (sand ripple) yang dikenai oleh deformasi pembebanan tidak lama setelah struktur itu terbentuk. Di lain pihak, penggolongan yang murni didasarkan pada morfologi bukan tidak mengandung masalah. Gelembur dapat dianggap sebagai struktur pada bidang perlapisan, namun gelembur juga dapat memunculkan diri sebagai laminasi silang-siur mikro yang terletak pada tubuh lapisan. Bahkan lekang kerut sekalipun dapat berperan sebagai struktur pada bidang perlapisan atas, struktur pada bidang perlapisan bawah, maupun struktur dalam tubuh lapisan. Penggolongan yang murni bersifat morfologi (Conybeare & Crook, 1968) agak artifisial dan dapat menyebabkan termasukkannya sejumlah struktur yang asal-usulnya beragam ke dalam satu kategori yang sama. Skema penggolongan yang murni bersifat morfologi dapat membantu kita dalam mengenal struktur sedimen, namun skema seperti itu tidak memberikan tambahan apapun pada pengetahuan kita.
Sebenarnya, akan lebih bermanfaat apabila kita menggunakan skema klasifikasi gabungan: genetik sekaligus morfologi. Mungkin akan lebih baik apabila kategori utama dari struktur sedimen merupakan kategori genetik, sedangkan kategori sekunder merupakan kategori morfologi. Dengan pemikiran seperti itu, struktur sedimen dapat dibedakan menjadi tiga kategori utama: yakni struktur sedimen fisik (mechanical sedimentary structures; physical sedimentary structures), struktur sedimen kimia (chemical sedimentary structures), dan struktur sedimen biogenik (biogenic sedimentary structures; organic sedimentary structures). Struktur fisik pada dasarnya merupakan struktur sedimen primer yang terbentuk pada saat pengendapan. Struktur fisik dapat merupakan struktur hidrodinamik (hydrodynamic sedimentary structures) yang terbentuk oleh arus atau struktur reologi (rheologic sedimentary structures) yang terbentuk akibat hydroplastic synsedimentary deformation. Struktur kimia terbentuk akibat proses-proses diagenetik pasca-pengendapan. Struktur biogenik terbentuk oleh organisme pada saat sedimennya diendapkan. Karena struktur kimia terbentuk setelah pengendapan dan karena umumnya tidak berkaitan dengan proses-proses sedimentasi
Secara umum, struktur sedimen tidak berkaitan dengan komposisi batuan atau litologi. Lapisan silang-siur dapat terbentuk dalam setiap material granuler yang tidak kohesif, tanpa tergantung pada apakah material itu berupa pasir kuarsa atau pasir karbonat. Graded bedding dan struktur bidang perlapisan bawah sering ditemukan bukan saja dalam beberapa kategori batupasir, namun juga dalam beberapa kategori batugamping. Lapisan silang-siur dan gelembur hanya terbentuk dalam material granuler non-kohesif, sedangkan lekang kerut hanya terbentuk dalam lumpur kohesif. Stromatolit, dengan beberapa pengecuali-an istimewa, hanya muncul dalam batuan karbonat. Walau demikian, preservasi struktur sedimen sangat tergantung pada komposisi batuan. Struktur sedimen yang terbentuk pada permukaan lumpur argilit biasanya akan terekam sebagai cetakan di bagian bawah batupasir yang menindihnya. Walau demikian, apabila lumpur itu merupakan lumpur karbonat, struktur tersebut akan dipertahankan dan akan terlihat pada perlapisan atas lumpur karbonat itu. Karena itulah mengapa sebagian besar foto lekang kerut yang dipublikasikan selama ini menyajikan lekang kerut modern dalam lumpur argilit modern, sedangkan foto fosil lekang kerut biasanya berasal dari batugamping.

4.2 PERLAPISAN
Struktur sedimen primer yang hampir universal adalah perlapisan (bedding) atau stratifikasi (stratification). Bahkan, istilah “batuan berlapis” (stratified rocks) sebenarnya hampir sinonim dengan istilah “batuan sedimen” (sedimentary rocks), meskipun beberapa jenis sedimen tertentu seperti tillite, tidak memiliki stratifikasi internal dan meskipun beberapa jenis batuan beku tertentu, misalnya aliran lava, memperlihatkan gejala stratifikasi.
Perlapisan atau stratifikasi ditampilkan oleh satuan-satuan batuan yang secara umum berbentuk tabuler atau lentikuler. Setiap satuan batuan itu memiliki keseragaman litologi atau struktur sedemikian rupa sehingga berbeda dengan satuan lain yang berdampingan dengannya. Payne (1942) menggunakan istilah stratum untuk menamakan suatu layer “yang tebalnya lebih dari 1 cm… [dan] dapat dibedakan secara visual dari lapisan lain yang terletak di atas dan dibawahnya berdasarkan litologi, adanya bidang fisik yang secara tegas memisahkan keduanya, atau oleh keduanya.” Istilah laminasi (lamination) digunakan untuk satuan strata yang mirip dengan stratum, namun ketebalannya kurang dari 1 cm. Payne (1942) lebih jauh mendefinisikan beberapa istilah yang sering digunakan untuk mencandra strata—yakni fissile, shaly, flaggy, dan massive—serta menyatakan limit-limit ketebalan untuk setiap istilah tersebut. McKee & Weir (1953) mencoba untuk memisahkan istilah-istilah yang dipakai untuk menyatakan ketebalan strata dengan istilah-istilah yang dipakai untuk menyatakan sifat penyubanan (splitting properties). Sebagaimana Payne (1942), McKee & Weir (1953) menamakan semua satuan strata yang ketebalannya kurang dari 1 cm sebagai laminasi, sedangkan satuan strata yang lebih tebal dari 1 cm disebut lapisan (bed). Lapisan yang ketebalannya 1–5 cm disebut lapisan sangat tipis; lapisan yang tebalnya 5–60 cm disebut lapisan tipis; lapisan yang ketebalannya 60–120 cm disebut lapisan tebal, sedangkan lapisan yang tebalnya lebih dari 120 cm disebut lapisan sangat tebal. Jika lapisan-lapisan itu terpecah-pecah ke dalam beberapa satuan yang ketebalnnya lebih kurang sama, maka lapisan-lapisan itu berturut-turut dikatakan flaggy, slabby, blocky, dan massive. Apabila pecah, strata yang lebih tipis dari lapisan dikatakan berlaminasi (laminated) atau, jika setiap pecahan itu ketebalannya kurang dari 2 mm disebut berlaminasi halus (thinly laminated).
Otto (1938) mencoba untuk mendefinisikan dua satuan yang memiliki kebenaan genetik, yakni satuan sedimentasi (sedimentation unit) dan laminasi. Satuan sedimentasi didefinisikannya sebagai “ketebalan sedimen yang diendapkan di bawah kondisi-kondisi fisik yang relatif konstan”. Aliran arus di alam tidak pernah benar-benar seragam. Karena itu, misalnya saja, tidak ada satupun sedimen yang disusun oleh partikel-partikel yang ukurannya persis seragam. Sebenarnya ada arus yang meng-endapkan ukuran partikel tertentu. Arus itu memiliki kecepatan rata-rata tertentu dan mengendapkan partikel dengan ukuran rata-rata tertentu untuk selang waktu tertentu. Satuan sedimentasi terbentuk pada selang waktu itu. Ketika arus berubah secara radikal, dan terbentuk suatu kondisi aliran baru, maka akan terbentuk satu satuan sedimentasi baru. Sudah barang tentu ada fluktuasi kecepatan arus dalam waktu singkat dan arus itulah yang bertanggungjawab terhadap pembentukan laminasi atau “fasa” (Apfel, 1938) yang sedikit berbeda dengan laminasi lain yang berdampingan dengannya. Suatu layer pasir berlapisan silang-siur, misalnya saja, merupakan suatu satuan sedimentasi. Layer itu diendapkan pada kondisi yang pada dasarnya seragam. Arus pengendap layer itu memiliki kecepatan dan arah yang relatif seragam untuk satu selang waktu tertentu. Laminasi silang-siur merupakan rekaman fluktuasi kecepatan arus secara lokal dalam waktu singkat. Satuan lapisan silang-siur kedua yang terletak di atas lapisan silang-siur pertama, baik yang orientasinya sama maupun berbeda dengan lapisan silang-siur pertama, merupakan satuan sedimentasi lain yang terpisah dari satuan lapisan silang-siur pertama serta merekam suatu episode pengendapan baru yang berbeda dengan sebelumnya.

Menurut Otto (1938), pembedaan antara satuan sedimentasi dengan laminasi bukan terletak pada ketebalannya. Lapisan tahunan atau warwa pada danau proglacial Plistosen, meskipun umumnya memiliki ketebalan lebih dari 1 cm, namun sebagian diantaranya memiliki ketebalan kurang dari 1 cm. Karena itu, mungkin kurang logis apabila kita menggolongkan sebagian warwa sebagai lapisan dan sebagian lain sebagai laminasi. Padahal, semuanya itu merupakan satuan sedimentasi. Karena bagian warwa yang relatif tebal dan terutama disusun oleh lanau dan pasir umumnya berlaminasi, agaknya kita perlu membedakan laminasi dengan warwa dan, oleh karena itu, antara lapisan dengan laminasi berdasarkan aspek lain selain ketebalan arbitrer yang telah ditentukan sebelumnya.
Meskipun satuan sedimentasi merupakan sebuah konsep yang bermanfaat, namun konsep itu sukar untuk diterapkan pada beberapa tipe batuan. Demikian pula, konsep itu sukar untuk diterapkan pada banyak situasi. Konsep itu lebih tepat diterapkan pada batuan klastika berbutir kasar, bukan pada batuan yang terbentuk secara kimiawi atau biologi.
Para ahli telah memberikan perhatian yang cukup banyak terhadap geometri bedding units serta pada karakter dan kebena-an bidang perlapisan yang memisahkan satuan-satuan itu. Lapisan dicandra sebagai lapisan planar jika bidang pembatasnya sejajar dengan limit-limit singkapan dan disebut lentikuler (lenticular) apabila bidang-bidang pembatasnya konvergen. Bidang pembatas lapisan juga bisa tidak beraturan (irregular). Istilah-istilah seperti wavy, bahkan lumpy dan noduler (nodular), dipakai untuk menamakan lapisan-lapisan yang menebal di suatu tempat dan menipis di tempat lain, bahkan pada lapisan-lapisan yang terdisintegrasi menjadi beberapa lensa atau nodul. Keteraturan suatu sekuen berlapis dapat dicandra berdasarkan keseragaman ketebalan lapisan-lapisan penyusunnya serta berdasarkan kesinambungan lateral dan keseragaman ketebalan individu-individu lapisan itu. Dengan dasar pemikiran itu, kita mengenal adanya empat tipe sekuen berlapis:
Sekuen yang disusun oleh lapisan-lapisan yang ketebalannya sama atau hampir sama; berkesinambungan secara lateral dengan ketebalan yang lebih kurang tetap.
Sekuen yang disusun oleh lapisan-lapisan yang ketebalannya tidak sama, namun berkesinambungan secara lateral dengan ketebalan yang lebih kurang tetap.
Sekuen yang disusun oleh lapisan-lapisan yang ketebalannya tidak sama, namun berkesinambungan secara lateral dengan ketebalan yang bervariasi.
Sekuen yang disusun oleh lapisan-lapisan yang ketebalannya tidak sama, tidak berkesinambungan secara lateral, dan memiliki ketebalan yang bervariasi.
Bokman (1957) mengusulkan suatu skala geometris, yang disebut skala theta, yang cenderung menormalisasikan distribusi ketebalan yang semula menceng dengan cara yang lebih kurang analog dengan peranan skala phi pada kasus distribusi besar butir.
Para ahli telah sejak lama mengetahui bahwa bidang perlapisan mungkin merekam suatu interval non-pengendapan, bahkan pada kasus tertentu mungkin merekam erosi. Rumpang seperti itu disebut diastem (Barrell, 1917). Diastem mungkin merekam rentang waktu yang lebih panjang dibanding batuan yang diapitnya.

4.3 SUSUNAN INTERNAL DAN STRUKTUR LAPISAN

4.3.1 Perlapisan Masif

Lapisan jarang yang tidak mengandung struktur atau kemas internal. Batuan yang tampak tidak mengandung struktur seperti itu disebut lapisan masif (massive beds). Foto-foto sinar-X dari batuan yang tampak masif menunjukkan bahwa sebagian besar dari apa yang disebut sebagai batuan masif itu sebenarnya mengandung laminasi internal (Hamblin, 1965). Karena itu, batuan yang benar-benar masif mungkin sangat jarang ditemukan di alam.

4.3.2 Laminasi

Banyak lapisan memperlihatkan laminasi internal. Dalam banyak lapisan, laminasi itu sejajar dengan bidang pembatasnya. Pada lapisan lain, laminasi itu miring ke arah bidang pembatas. Sudut kemiringan laminasi itu pada beberapa kasus sangat landai (1–10o), sedangkan dalam kasus lain cukup curam (10–35o, bahkan lebih). Laminasi yang disebut terakhir ini dinamakan lapisan silang-siur dan merupakan salah satu ciri khas dari pasir. Laminasi pada material itu hanya merekam fasa-fasa transisi atau fluktuasi minor dalam kecepatan arus pengendap.

Laminasi merupakan satu karakter paling khas dari sedimen berbutir halus, terutama batulanau dan serpih. Laminasi muncul sebagai perselingan material yang berbeda besar butir atau komposisinya. Laminasi pada umumnya memiliki ketebalan 0,5–1,0 mm. Laminasi dapat menerus maupun tidak menerus, serta dapat jelas maupun samar. Contoh-contoh laminasi adalah laminasi yang terbentuk oleh perselingan material kasar dengan material halus (lanau atau pasir halus dengan lempung), perselingan lapisan-lapisan lanau yang berwarna terang dengan lapisan-lapisan lanau yang berwarna gelap akibat perbedaan material penyusun lanau itu, serta perselingan kalsium karbonat dengan lanau.

Laminasi terbentuk akibat adanya variasi laju pasokan atau laju pengendapan material yang berbeda-beda. Variasi itu sendiri dinisbahkan pada pergeseran arus pengendap secara kebetulan, pada iklim (khususnya perubahan mendaur yang berkaitan dengan ritme harian atau tahunan), serta pada banjir atau badai yang tidak bersifat periodik. Pembaca yang ingin mengetahui lebih jauh kondisi-kondisi yang diperlukan untuk pembentukan dan preservasi lapisan tahunan serta kriteria untuk mengenalnya dapat membaca karya tulis Bradley (1929) dan Rubey (1930).

Sebagian serpih memperlihatkan laminasi yang sangat baik; sebagian lain justru tidak mengandung laminasi. Contoh paling sempurna dari serpih berlaminasi baik adalah serpih endapan danau. Laminasi yang juga terlihat cukup jelas, meskipun tidak sejelas seperti yang terlihat dalam endapan danau, dapat ditemukan dalam batulumpur yang terpecah-pecah serta dalam sedimen terestrial lainnnya. Karbonat endapan dataran pasut juga berlaminasi baik. Sedimen-sedimen seperti itu, apabila telah kompak, disebut laminit (laminite).

Kesempurnaan dan derajat preservasi laminasi merupakan ukuran dari ketenangan massa air dimana endapan itu ter-akumulasi. Adanya arus dasar, meskipun sedikit, dapat menghancurkan laminasi yang telah terbentuk dalam endapan. Karena itu, laminasi seringkali merekam pengendapan di bawah alas gelombang (wave base). Kesempurnaan laminasi dalam lempung juga berkaitan dengan salinitas air. Elektrolit tertentu, terutama natrium klorida, memicu terjadinya flokulasi (flocculation) atau symmixis. Flokulasi menyebabkan terjadinya pencampuran partikel-partikel lanau dan lempung dan, pada gilirannya, tidak memungkinkan terbentuknya laminasi sedemikian rupa sehingga endapan yang dihasilkannya relatif homogen. Stratifikasi dalam suatu batuan juga dapat terhancurkan oleh organisme pemakan material organik yang ada dalam lumpur. Proses pemakanan yang berulang-ulang dapat menyebabkan terubahnya endapan serta terhancurkannya sebagian atau semua laminasi. Karena hal itu hampir universal, maka preservasi laminasi mengindikasikan laju pengendapan yang sangat tinggi atau kondisi dasar yang beracun dan menghambat perkembangan fauna bentos. Di bawah kondisi-kondisi yang disebut terakhir ini, individu-individu laminasi yang setipis kertas dapat terawetkan dan dapat ditelusuri keberadaannya hingga jarak beberapa kilometer (Anderson dkk, 1972).

Secara umum, makin tipis laminasi, makin lambat laju akumulasinya. Hal itu jelas terlihat dalam laminasi berpasangan (paired laminations) yang terbentuk pada interval waktu yang sama, misalnya dalam satu tahun.

4.3.3 Susunan dan Struktur Internal


4.3.4 Lapisan Silang-Siur dan Gelembur

Lapisan silang-siur (cross-bedding) dan gelembur (ripple mark) umumnya dipandang sebagai dua fenomena yang tidak berkaitan. Lapisan silang-siur dianggap sebagai gejala internal suatu lapisan, sedangkan gelembur dianggap sebagai struktur yang berkembang pada bidang perlapisan. Sebenarnya, kedua struktur itu memiliki kaitan yang erat dan keduanya merupakan dua aspek yang berbeda dari satu hal yang sama. Lapisan silang-siur merupakan produk migrasi gelembur besar (megaripple) atau sand wave; lapisan silang-siur berskala kecil (ripple bedding) merupakan produk migrasi gelembur.

Secara umum, gelembur merupakan sebuah struktur berskala kecil. Panjang gelombang gelembur hanya beberapa centi-meter dan tingginya hanya beberapa milimeter. Walau demikian, pada lingkungan-lingkungan tertentu, dapat berkembang gelembur raksasa (giant ripple). Gelembur besar itu memiliki panjang gelombang beberapa meter atau lebih—pada beberapa kasus panjang gelombangnya beberapa puluh meter—dengan amplitudo beberapa puluh centimeter. Gelembur dengan ukuran sepertii tu pernah ditemukan dalam alur pasut (van Straaten, 1950; Off, 1963) dan sungai (Sunborg, 1956). Masih dipertanyakan apakah struktur terbesar yang bentuknya mirip dengan gelembur merupakan gelembur atau bukan. Benda seperti itu sering disebut gumuk (dune) atau sand wave (Carey & Keller, 1957). Gumuk memiliki sisi hulu yang sangat landai (biasanya hanya 1o atau 2o) dan permukaannya sering ditutupi oleh gelembur arus (current ripple) yang berukuran relatif kecil.

Meskipun gelembur skala kecil memiliki banyak kemiripan dengan sand wave atau gumuk, dan meskipun migrasi struktur-struktur menghasilkan lapisan silang-siur yang juga banyak memperlihatkan kemiripan, namun pembahasan gelembur dalam buku ini dipisahkan dari pembahasan sand wave atau gumuk. Hal itu dilakukan antara lain karena gelembur merupakan struktur berskala kecil yang umumnya terlihat pada bidang perlapisan, sedangkan sand wave tidak seperti itu. Selain itu, pemisahan tersebut juga didasarkan pada adanya perbedaan mendasar dalam proses-proses fisik pembentukan kedua tipe struktur itu (Allen, 1963). Untuk menekankan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, istilah gelembur digunakan untuk menamakan bed-form berskala kecil, sedangkan istilah sand wave atau gumuk digunakan untuk menamakan bedform berskala besar. Selain itu, istilah ripple bedding digunakan untuk menamakan laminasi silang-siur mikro (micro-cross-lamination) yang dihasilkan oleh migrasi gelembur, sedangkan istilah lapisan silang-siur digunakan untuk menamakan struktur yang terbentuk sebagai hasil migrasi gumuk.

Laminasi silang-siur atau lapisan silang-siur telah mendapatkan perhatian yang demikian besar dari para ahli geologi. Struktur itu memungkinkan dilakukannya analisis kuantitatif. Laminasi silang-siur dan lapisan silang-siur juga sangat bermanfaat dalam analisis arus purba.

Lapisan silang-siur merupakan struktur khas dari pasir—material granuler non-kohesif, apapun komposisinya. Lapisan silang-siur—yang disebut juga laminasi silang-siur (cross-lamination), current bedding, perlapisan diagonal (diagonal bedding), atau perlapisan palsu (false bedding)—merupakan satu tipe struktur yang sukar untuk didefinisikan. Bagi sebagian ahli, struktur itu hanya berarti perlapisan yang miring—perlapisan dengan initial dip yang tinggi. Walau demikian, istilah lapisan silang-siur dalam buku ini digunakan secara terbatas untuk menamakan perlapisan internal yang disebut perlapisan perenggan (foreset bedding) yang miring, relatif terhadap bidang akumulasi utama, di dalam satu satuan sedimentasi. Definisi itu, yang membatasi lapisan silang-siur sebagai struktur internal dari suatu lapisan, menyebabkan perlapisan miring yang terbentuk dengan cara lain—misalnya perlapisan gisik (beach bedding), perenggan-perenggan delta (delta foresets), dan perlapisan akresi lateral (lateral accretion bedding)—tidak termasuk ke dalam kategori lapisan silang-siur. Definisi di atas tidak tergantung pada skala. Suatu lapisan silang-siur dapat memiliki ketebalan mulai dari 3 mm hingga lebih dari 30 m.

Definisi di atas banyak digunakan oleh para ahli dan dapat diterapkan pada kebanyakan dari apa yang selama ini disebut sebagai lapisan silang-siur. McKee & Weir (1953) mendefinisikan lapisan perenggan (foreset bed) sebagai suatu “stratum silang-siur” (“cross-stratum”) dan mendefinisikan satuan lapisan silang-siur (cross-bedding unit) sebagai suatu “himpunan strata silang-siur” (“a set of cross-strata”). Mereka membedakan lapisan silang-siur, yang memiliki perenggan dengan ketebalan lebih dari 1 cm, dengan “laminasi silang-siur” (“cross-lamination”) yang memiliki perenggan dengan ketebalan kurang dari 1 cm.

Pola yang diperlihatkan oleh stratifikasi silang-siur berskala kecil pada bidang perlapisan disebut “rib-and-furrow” oleh Stokes (1953), disebut “Schrägschichtungsbögen” oleh Gürich (1933), dan disebut “laminasi silang-siur mikro” (“micro cross-lamination”) oleh Hamblin (1961).

Meskipun banyak perenggan mendekati bentuk bidang datar, dan berakhir pada bidang perlapisan bawah dan bidang perlapisan atas dengan membentuk sudut lancip yang lebih kurang sama, namun sebagian perenggan melengkung ke bawah dan kemudian berakhir secara tangensial pada bidang perlapisan bawah.

Meskipun istilah topset dan bottomset sering diterapkan pada strata yang berturut-turut terletak di atas dan di bawah strata silang-siur tabuler, namun pemakaian istilah-istilah tersebut sebenarnya tidak tepat. Perenggan pada strata silang-siur umumnya tidak menembus strata lain yang terletak di atas atau di bawah strata itu. Strata silang-siur bukan merupakan produk per-tumbuhan mikrodelta. Ungkapan yang menyatakan bahwa perenggan “terpancung”, yang mengimplikasikan terjadinya peng-erosian, juga merupakan konsep yang keliru.

Asal-usul lapisan silang-siur dikatakan sangat beragam. Untuk lapisan silang-siur sebagaimana telah didefinisikan pada bagian ini, jelas bahwa lapisan silang-siur itu terbentuk sebagai hasil migrasi sand wave. Ukuran sand wave menentukan skala lapisan silang-siur yang dihasilkannya. Migrasi gumuk menghasilkan strata silang-siur berskala besar, sedangkan migrasi gelembur menghasilkan stratifikasi silang-siur berskala kecil.  Ukuran lapisan silang-siur ditentukan oleh ketinggian gumuk, sedangkan morfologinya ditentukan oleh morfologi gelembur (jika berskala kecil) atau oleh morfologi gumuk dan sand wave (apabila berskala besar) (Allen, 1963). Gelembur atau sand wave yang linier dan teratur akan menghasilkan stratifikasi silang-siur planar-tabuler sederhana. Gelembur atau sand wave linguloid akan menghasilkan stratifikasi silang-siur mangkok.

Kebenaan lapisan silang-siur telah diperdebatkan oleh para ahli sejak lama. Lapisan silang-siur yang ada dalam suatu formasi tidak menyebar secara random, melainkan memperlihatkan preferred orientation . Dalam endapan aluvial, lapisan silang-siur rata-rata mengarah ke hilir. Dalam endapan bahari, kebenaan lapisan silang-siur tidak terlalu jelas, meskipun lapisan itu tetap memperlihatkan preferred orientation. Azimuth yang berlawanan pada suatu satuan lapisan silang-siur meng-indikasikan arus pasut. Lapisan silang-siur seperti itu sering muncul dalam beberapa singkapan dalam bentuk struktur “tulang ikan” (“herringbone” structure). Lapisan silang-siur eolus lebih mencerminkan angin yang bekerja untuk suatu rentang waktu yang relatif lama di permukaan bumi atau angin yang paling efektif bekerja di permukaan bumi; bukan mencerminkan sistem angin dengan sirkulasi global. Hingga sejauh ini belum ada satupun jenis atau skala lapisan silang-siur yang khas untuk agen atau lingkungan pengendapan tertentu. Walau demikian, lapisan siang-siur yang sangat besar kemungkin terbentuk pada lingkungan eolus atau bahari; bukan pada lingkungan fluvial.

Skala lapisan silang-siur (dan sand wave yang menjadi “bahan” pembentukannya) dalam endapan akuatis tampaknya berkaitan dengan kedalaman (Allen, 1963). . Sebagaimana dikemukakan oleh Carey & Keller (1957), ukuran gumuk atau sand wave di Sungai Mississippi bertambah sejalan dengan meningkatnya luah (dan, oleh karena itu, kedalaman) pada saat banjir. Pengamatan lapangan biasa saja sudah cukup untuk memperlihatkan adanya sand wave berukuran besar dan, oleh karena itu, lapisan silang-siur yang lebih tebal pada sungai besar. Allen (1963) menyajikan sebuah hasil kompilasi yang memperlihatkan bahwa ketinggian sand wave memiliki hubungan yang linier dengan kedalaman. Hubungan itu memungkinkan kita untuk memperkirakan kedalaman dari skala lapisan silang-siur dalam endapan purba (Allen, 1963).

4.3.4.1 Gelembur

Sebagai suatu gejala yang sangat sering ditemukan, baik pada sand flat masa kini maupun pada bidang perlapisan batupasir purba, gelembur (ripple mark) telah menarik perhatian tidak saja para ahli geologi, namun juga para ahli fisika yang mempelajari fenomena geleombang. Karena itu, tidak mengherankan apabila literatur gelembur saat ini demikian banyak.

Banyak perhatian ditujukan pada gelembur sebagai sebuah fenomenon bidang batas. Ketika suatu aliran yang bergerak di atas dasar yang disusun oleh pasir mencapai nilai kecepatan tertentu, partikel-partikel pasir mulai bergerak dan gelembur mulai terlihat pada permukaan pasir itu. Banyak penelitian awal mengenai gelembur ditujukan untuk memahami proses tersebut serta pola gelembur yang dihasilkannya. Diantara sekian banyak penelitian geologi di masa lalu, makalah-makalah karya Bucher (1919) dan Kindle (1917) merupakan makalah yang paling lengkap. Makalah-makalah itu juga membahas tentang batupasir purba yang mengandung gelembur.

Ada dua aspek penelitian gelembur yang mendapat perhatian khusus dari para ahli. Pertama, kebenaan geografi dari gelembur, khususnya orientasi gelembur. Aspek itulah yang dulu menjadi tujuan penelitian Hyde (1911) ketika dia meneliti gelembur yang ada dalam Berea Sandstone (Mississippi) di Ohio. Kedua, struktur internal batupasir dan batulanau yang dihasilkan oleh pertindihan dan migrasi gelembur. Struktur yang dimaksud adalah apa yang disebut sebagai laminasi silang-siur mikro oleh Hamblin (1961) atau ripple bedding. Struktur itu sering terlihat pada penampang vertikal batuan. Pada bidang per-lapisan, ripple bedding menampakkan diri sebagai “rib-and-furrow”. Makalah-makalah karya Walker (1963, 1969), Allen (1963), dan McKee (1966) membahas tentang ripple bedding dan tentang fenomena yang disebut sebagai climbing ripple. Karya tulis paling komprehensif mengenai gelembur ditinjau dari semua sudut pandang adalah karya Allen (1963, 1969). Ketika suatu arus bergerak di atas massa pasir mencapai nilai kecepatan tertentu, butiran-butiran pasir mulai bergerak dan pada permukaan massa pasir itu akan terbentuk serangkaian gelembur. Gelembur-gelembur arus itu terdiri dari sejumlah punggungan yang lebih kurang lurus, dan satu sama lain terpisahkan oleh suatu jarak yang lebih kurang sama, dimana arah yang ditunjukkan oleh punggungan itu lebih kurang tegak lurus terhadap arah arus. Di bawah kondisi-kondisi aliran tertentu, pola gelembur arus menjadi makin tidak beraturan dan puncak gelembur akhirnya pecah menjadi sederetan struktur berbentuk seperti huruf-U. Sebagian struktur itu berupa gelembur barchanoid atau lunate jika cembung ke hulu; sebagian lain berupa gelembur linguloid atau gelembur yang berbentuk seperti lidah jika cembung ke hilir. Gelembur linguloid agaknya lebih umum ditemukan di alam. Sejalan dengan makin tingginya kecepatan, gelembur hilang dan pada massa pasir itu akan terbentuk bidang datar mulus, di atas bidang mana pasir tersapu.

Jika pasir diangkut di atas dasar yang tidak disusun oleh pasir (misalnya saja dasar yang disusun oleh lumpur), dan jika pasokan pasir tidak memadai untuk dapat membentuk suatu lapisan menerus, pasir itu akan terakumulasi dalam tonjolan-tonjolan terisolasi. Tonjolan-tonjolan itu disebut starved ripples oleh sebagian ahli dan tampak pada penampang melintang sebagai lensa-lensa pasir datar-cembung yang tertanam dalam batulumpur. Istilah perlapisan lentikuler (lenticular bedding) dipakai oleh Reineck & Wunderlich (1968) untuk menamakan struktur itu, sedangkan Conybeare & Crook (1968) menamakan-nya perlapisan flaser (flaser bedding).

Dasar pasir yang ada di daerah perairan-dangkal umumnya ditutupi oleh gelembur osilasi (oscillation ripple mark) yang dihasilkan oleh pergerakan maju-mundur partikel-partikel air di bawah pengaruh gelombang. Apabila dilihat dari atas, kenampak-an gelembur osilasi itu mirip dengan—mungkin sedikit lebih teratur dibanding—gelembur arus. Apabila dilihat pada penampang melintang, gelembur osilasi memiliki bentuk yang simetris. Kesimetrian bentuk gelembur, serta bentuk puncak gelembur yang tajam dan bentuk lembah yang lebar, menjadi faktor yang membedakan gelembur osilasi dari gelembur arus. Kenampakan yang khas dari bentuk asli gelembur osilasi, dan cast-nya, menyebabkan struktur ini sangat bermanfaat sebagai kriterion untuk menentukan posisi stratigrafi (Cox & Dake, 1916; Shrock, 1948).


Aspek paling penting dari gelembur pasir adalah struktur internalnya dan laminasi silang-siur berskala kecil (dan seringkali kompleks) yang merupakan produk migrasi gelembur itu. Pada penampang melintang, migrasi gelembur menghasilkan lapisan silang-siur berskala kecil atau apa yang disebut sebagai laminasi silang-siur mikro oleh Hamblin (1961). Bentuk laminasi silang-siur mikro yang paling sederhana memiliki ketebalan sekitar 1 cm atau kurang dari itu. Jika proses pembentukan dan migrasi gelembur itu berlangsung dalam suatu rentang waktu yang relatif lama, maka dapat terjadi penumpukan beberapa lapisan dan dalam banyak kasus pada akhirnya akan terbentuk lapisan komposit yang sangat kompleks. Andersen (1931) meneliti bentuk-bentuk lapisan silang-siur kompleks (yang dia sebut sebagai “rolling strata”) dalam sedimen fluvioglasial di Denmark. McKee (1938, 1939) melaporkan adanya perlapisan gelembur yang kompleks dalam endapan banjir Sungai Colorado, Grand Canyon. Ada beberapa kemungkinan penumpukan gelembur. Gelembur dapat mengalami penumpukan sefasa (in phase superimposed) sehingga gelembur tidak tampak bermigrasi sama sekali, melainkan seolah-olah tumbuh ke atas sejalan dengan terus ber-langsungnya pengendapan. Hubungan penumpukan yang biasa ditemukan adalah migrasi progresif puncak gelembur sedemikian rupa sehingga setiap gelembur tampak “mengapung” dan “naik” ke atas sisi hulu gelembur yang ditindihnya. Struktur yang kurang beraturan dihasilkan oleh penumpukan tidak sefasa beberapa himpunan gelembur. Hasilnya adalah suatu pola perlapisan yang agak “aneh” dan kadang-kadang disebut perlapisan flaser
Gelembur naik (climbing ripple) dan endapan laminasi silang-siurnya—yang disebut struktur gelembur naik (climbing ripple structure) oleh McKee (1966) atau disebut laminasi gelembur-mengembara (ripple-drift lamination) atau laminasi silang-siur gelembur-mengembara (ripple-drift cross-lamination) oleh Walker (1963, 1969)—memperlihatkan bentuk yang beragam. Pada beberapa kasus, laminasi gelembur naik itu merupakan bentuk transisi dari satu tipe laminasi kepada tipe laminasi lain. Pada kasus lain, laminasi gelembur naik dibatasi secara tajam oleh backset bedding planes. Pada kasus pertama, laminasi sisi hulu terawetkan, meskipun laminasi itu lebih tipis dibanding laminasi sisi hilir. Pada kasus kedua, laminasi sisi hulu tidak terawetkan atau tererosi. Sebuah bentuk khusus dari kasus pertama adalah laminasi gelembur naik yang ditandai dengan akumulasi lumpur pada lembah gelembur serta akumulasi lanau dan pasir pada lereng hulu. Segregasi material itu menghasilkan sederetan perselingan lapisan-lapisan lumpur dan lanau dengan kemiringan yang curam ke arah hulu dan sekilas tampak sebagai lapisan silang-siur yang skalanya lebih besar. Karena itu, pengamatan yang kurang cermat terhadap laminasi silang-siur seperti itu dapat membawa kita untuk sampai pada kesimpulan yang keliru dengan menganggapnya sebagai lapisan silang-siur berskala besar. Laminasi silang-siur seperti itu agaknya merupakan ciri paket turbidit yang paling khas (Walker, 1963). Faktor-faktor hidrolika, yang menentukan tipe dan sudut-naik (climb angle) dari gelembur naik, telah dibahas oleh Allen (1970).

Pola tumpukan ripple bedding yang kurang beraturan akan menghasilkan laminasi internal yang kompleks. Struktur seperti itu jelas dihasilkan oleh proses pembentukan gelembur, namun tidak memperlihatkan pola tumpukan yang tetap dan teratur. Lapisan-lapisan batupasir atau batulanau seperti itu disebut wavy bedding.

Jika lumpur hadir, bentuk satuan bergelembur akan menjadi lebih jelas terlihat. Lumpur yang berselingan mungkin muncul sebagai lensa-lensa atau flaser akibat terakumulasinya lumpur secara terbatas pada lembah-lembah gelembur. Secara keseluruhan, struktur itu dinamakan perlapisan flaser (flaser bedding). Jika lensa-lensa lumpur saling bergabung, struktur yang terbentuk disebut wavy bedding. Jika lumpur merupakan material dominan, maka satuan bergelembur itu akan terisolasi dan tertutup dalam matriks lumpur. Secara keseluruhan, satuan itu dinamakan perlapisan lentikuler (lenticular bedding) atau starved ripple (Reineck & Wunderlich, 1968).
Aspek lain dari struktur internal dari batupasir, yang diperkirakan memiliki kaitan dengan ripple bedding, adalah apa yang disebut sebagai “rib-and-furrow” oleh Stokes (1953). Struktur yang disebut terakhir ini pernah ditemukan oleh Gurich (1933) dalam flagstones dari Maulborn monastery, bagian tengah Jerman, dan dinamakannya “Schrägschichtungsbögen”. Ketika terlihat pada bidang perlapisan, struktur itu terdiri dari jejak-jejak melengkung, transversal, berukuran kecil, dan muncul dalam himpunan-himpunan yang relatif terbatas pada narrow furrow yang relatif panjang dan dipisahkan dari himpunan lain oleh ribs yang sangat sempit dan tidak menerus. Longitudinal furrow pada dasarnya sejajar satu sama lain dan sejajar dengan arah aliran. Furrows itu lebarnya beberapa centimeter dengan panjang hingga sektiar 1 meter. Jejak-jejak transversal berukuran kecil itu melengkung, dengan sisi cembung mengarah ke hulu, sedangkan garis yang menghubungkan titik tengah jejak-jejak itu sejajar dengan arah aliran. Jejak-jejak transversal itu merupakan sisi-sisi struktur imbrikasi yang tererosi—laminasi melengkung yang mengarah ke atas.

Struktur rib-and-furrow agaknya merupakan satu spesies lapisan silang-siur mangkok yang terletak pada bidang perlapisan dan dihasilkan oleh migrasi sistem gelembur linguloid. Struktur itu pernah ditemukan oleh Stokes dalam Moenkopi Formation (Trias) dan Saltwash Sandstone Member dari Morrison Formation (Jura) di Utah. Struktur itu juga pernah ditemukan dalam flagstones Devon di Pennsylvania. Ripple bedding dapat dikenai oleh synsedimentary deformation. Deformasi itu paling sering ditampilkan sebagai laminasi gelembur yang sangat curam. Apabila deformasinya relatif kuat, maka sudut kemiringan laminasi gelembur tampak sangat curam, bahkan terbalik. Produk deformasi gelembur yang mungkin paling ekstrim adalah perlapisan konvolut (convolute bedding). Ketika gelembur terakumulasi sebagai satuan-satuan terisolasi di atas suatu massa lumpur, gelembur itu dapat mengalami deformasi pembebanan dan tenggelam atau melesak ke dalam lumpur yang terletak dibawahnya. Struktur itu disebut “load-casted” ripple (Dzulynski, 1962).

Gelembur, sebagaimana lapisan silang-siur, terbukti sangat bermanfaat sebagai indikator posisi stratigrafi, indikator arah arus purba, dan indikator kondisi-kondisi aliran. Struktur itu juga merupakan indikator lingkungan pengendapan yang bermanfaat karena terbentuk pada kondisi yang sangat beragam, pada kedalaman yang juga beragam, selama di tempat itu ada arus yang bergerak di atas massa pasir. Gelembur hasil aktivitas gelombang berbeda dengan gelembur hasil aktivitas arus searah. Gelembur angin (wind ripple) juga jauh berbeda dari gelembur akuatis (aqueous ripple). Sayang sekali, gelembur angin jarang ditemukan dalam rekaman geologi. Gelembur terbukti sangat bermanfaat dalam analisis paleogeografi.

4.3.4.3 Graded bedding

Graded bedding, suatu tipe struktur yang sering ditemukan dalam paket batuan sedimen, telah menarik perhatian para ahli geologi lapangan karena struktur itu sangat bermanfaat dalam menentukan urut-urutan superposisi pada lipatan isoklin dan batuan yang telah mengalami pembalikan. Kebenaan geologi dari graded bedding serta pengenalan graded bedding dan lapisan silang-siur sebagai penciri dua fasies pengendapan pasir yang berbeda dijelaskan pertama kali oleh Bailey (1930, 1936). Dewasa ini para ahli mengakui bahwa graded bedding mungkin merupakan ciri paling khas dari pengendapan turbidit yang umumnya berlangsung di wilayah perairan-dalam.

Graded bed merupakan satuan sedimentasi yang ditandai oleh perubahan ukuran partikel penyusun secara berangsur dari bawah ke atas, dimana partikel paling kasar terletak di bawah dan partikel paling halus terletak di atas. Graded bed diendapkan dari arus yang sudah kehilangan kemampuannya untuk mengangkut partikel. Graded bed memiliki ketebalan yang bervariasi, mulai dari sekitar 1 cm hingga sekitar 1 meter. Partikel-partikel penyusun graded bed dapat berupa lanau, pasir, atau pada kasus-kasus tertentu juga gravel. Kebanyakan graded bed merupakan batupasir (biasanya berupa greywacke dalam paket endapan purba). Ketebalan graded bedded sandstone itu berkisar mulai dari beberapa centimeter hingga sekitar 1 meter. Secara umum, makin tebal suatu graded unit, makin kasar material penyusunnya (Potter & Scheidegger, 1966). Graded bed memperlihatkan distribusi ketebalan log normal .

Ada beberapa tipe grading. Sebagian graded bed merupakan lapisan komposit yang kemungkinan besar terbentuk ketika surge kedua tiba sebelum surge pertama terendapkan seluruhnya. Cara lain yang menyebabkan terbentuknya lapisan komposit adalah terpancungnya graded unit pertama sebelum diendapkan graded bed kedua.

Meskipun ragam grading yang terlihat di lapangan sangat bervariasi, namun jelas ada suatu urut-urutan struktur ideal yang dapat ditemukan dalam suatu graded unit lengkap. Daur ideal itu disebut daur Bouma (Bouma cycle) karena daur itu dipaparkan secara eksplisit untuk pertama kalinya oleh Bouma (1962). Sebagaimana dikemukakan oleh Bouma, kita jarang menemukan lapisan yang memperlihatkan keseluruhan sekuen Bouma. Kebanyakan memperlihatkan terjadinya pemancungan bagian atas sekuen (top truncation). Maksudnya, daur itu tidak lengkap dan dimulai dengan graded interval, namun tidak mengandung satu atau lebih interval-interval lain yang “seharusnya” terletak di atas graded interval. Sekuen yang mungkin lebih sering ditemukan adalah sekuen yang memperlihatkan “pemancungan” bawah. Maksudnya, lapisan itu dimulai dengan suatu interval yang bukan graded interval. Walau demikian, sebagaimana dikemukakan oleh Bouma, meskipun terjadi pemancungan, namun interval-interval itu selalu berada dalam urut-urutan yang tetap.

Sekuen yang tidak lengkap mungkin dapat dinisbahkan pada pelemahan arus pembentuk sekuen ketika menyebar di lantai cekungan. Ketika pasokan material kasar berkurang dan arus melemah, tidak akan terbentuk graded interval dan pengendapan akan dimulai dengan interval (b). Ketika arus lebih lemah lagi, endapan yang pertama kali terbentuk adalah interval (c).

Perubahan lateral dari graded bed itu disertai dengan penurunan ketebalan lapisan. Pola penurunan ketebalan dan besar butir graded bed ideal ke arah hilir adalah eksponensial negatif (Scheidegger & Potter, 1971). Fakta tidak ditemukannya interval-interval terbawah dari sekuen Bouma, apabila berlangsung secara sistematis, dapat menjadi petunjuk “proksimalitas” (“proximality”) endapan. Lapisan-lapisan proksimal, yang dekat dengan daerah sumber, memperlihatkan sekuen yang lengkap. Lapisan-lapisan distal cenderung memperlihatkan pemancungan bawah. Berdasarkan hubungan itu, Walker (1967) menghitung indeks proksimalitas (proximality index), P, yang didefinisikannya sebagai P = A + 1/2B, dimana A dan B adalah persentase lapisan-lapisan dalam suatu sekuen yang berturut-turut dimulai oleh interval a dan b.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, graded bedding dan lapisan silang-siur menandai dua fasies pengendapan pasir yang jauh berbeda. Karena itu, kedua struktur tersebut tidak pernah ditemukan dalam satu sekuen sedimen yang sama. Namun, seperti telah ditunjukkan di atas, lapisan silang-siur berskala kecil atau ripple cross-lamination, merupakan bagian integral dari graded bed ideal. Lapisan silang-siur berskala besar, yang melibatkan keseluruhan satuan sedimentasi, tidak pernah ditemukan dalam graded sequence.

Graded bedding ditemukan di banyak tempat dan dalam endapan yang umurnya bervariasi. Graded bedding merupakan jenis struktur yang boleh dikatakan dapat ditemukan pada semua sekuen Prakambrium awal (Temiskaming) di Perisai Canada (Pettijohn, 1943; Walker & Pettijohn, 1971). Graded bedding seperti itu juga dilaporkan ada dalam batuan Prakambrium awal (Bothnian) di Finlandia (Simonen & Kuovo, 1951), dalam batuan Arkean di Afrika Selatan dan Australia (Dunbar & McCall, 1971). Graded bedding yang sangat baik ditemukan dalam endapan Silur di Aberysthwith, Wales, (Rich, 1950; Kuenen, 1953b; Wood & Smith, 1953), dalam endapan Miosen di Appenines (Kuenen & Migliorini, 1950; ten Haaf, 1959), dalam endapan Kambrium di Harlech Dome, Wales, (Kopstein, 1954), dalam endapan Pliosen di Santa Paula Creek, California, (Natland & Kuenen, 1951), dalam endapan Karbon Kulm, bagian tengah Jerman (Kuenen & Sanders, 1956), dalam flysch di Pegunungan Carpathia (Dzulynski dkk, 1959), dalam endapan Ordovisium di Martinsburg, bagian tengah Appalachia (McBride, 1962), endapan Devon akhir di bagian tengah Appalachia (McIver, 1970), dalam endapan Paleozoikum Akhir di Ouachita Mountains, Arkansas dan Oklahoma (Cline, 1966) serta dalam endapan Kapur di Sacramento Valley, California (Ojakangas, 1968). Graded bedding mungkin merupakan struktur khas dalam semua endapan geosinklin yang disusun oleh perselingan greywacke dengan serpih atau sabak. Graded bedding juga banyak ditemukan dalam inti bor pasir laut-dalam masa kini (Nesteroff, 1961; Kuenen, 1964).

Graded bedding terutama ditemukan dalam batupasir, khususnya greywacke Paleozoikum atau endapan yang lebih tua dari itu. Walau demikian, graded bedding tidak hanya ditemukan dalam tipe pasir itu. Graded bedding bahkan dapat ditemukan dalam batugamping yang sebenarnya diendapkan sebagai pasir. Batugamping itu disebut batugamping alodap (allodapic limestone) oleh Meischner (1964). Graded bedding kadang-kadang ditemukan dalam kuarsit, baik kuarsit masa kini maupun kuarsit purba. Graded bedding relatif jarang ditemukan dalam kuarsit karena kuarsit biasanya bukan merupakan endapan wilayah perairan-dalam yang dicirikan oleh kehadiran sekuen Bouma. Pada kasus yang disebut terakhir ini, graded bedding umumnya bersifat soliter dan muncul secara sporadik.

Asal-usul graded bed dijelaskan dengan beberapa teori. Bailey (1930) menisbahkannya pada gempabumi yang berperan sebagai “distributor intermittent untuk pasir dan lumpur”. Dia mengasumsikan graded bed “dihasilkan oleh proses penenggelam-an melalui massa air yang relatif tenang, yang memungkinkan pasir dan lumpur untuk diendapkan pada satu tempat yang sama; sisa dari proses pengendapan ini berupa lumpur yang bertekstur paling halus”. Menurut Bailey, “pasir dan lumpur, yang membentuk akumulasi-akumulasi tidak stabil pada tepi geosinklin, secara periodik diguncang oleh gempabumi bawahlaut dan kemudian terangkat ke dalam suspensi dan akhirnya diendapkan di wilayah perairan yang dalam dan tenang”.

Kuenen & Migliorini (1950) pertama kali menyatakan bahwa arus turbid mungkin merupakan penyebab terbentuknya graded bedding. Kuenen (1953a) menyajikan sebuah tinjauan yang mendetil terhadap berbagai bukti yang mendukung bahwa graded bed terbentuk oleh arus turbid. Bukti yang paling meyakinkan terletak pada struktur itu sendiri, yakni grading. Grading dapat direproduksikan secara eksperimental dari arus turbid (Kuenen & Migliorini, 1950; Kuenen & Menard, 1952). Bukti lain yang juga penting adalah ketebalan graded bed yang seragam, termasuk dalam graded unit yang paling tebal (arus normal akan menghasilkan satuan-satuan silang-siur yang berbentuk lentikuler), tidak adanya lapisan silang-siur, ditemukannya bukti-bukti endapan wilayah perairan-dalam (mikrofauna perairan-dalam dalam serpih yang berselingan dengan graded bed), serta pengendapan material rombakan kasar dalam lumpur yang terletak di atas graded bed tanpa disertai dengan adanya gangguan pada permukaan lumpur itu (jejak-jejak cacing yang halus terawetkan sebagai cast ada bidang perlapisan bawah dari lapisan pasir yang menindihnya). Jelas sudah bahwa setiap graded bed merekam episode pengendapan tunggal yang berumur pendek dan merupakan produk sedimentasi perairan-dalam yang berada di luar jangkauan arus dasar dan gelombang. Bukti-bukti yang dapat dikumpulkan sampai sekarang hampir pasti mengindikasikan pengendapan dari aliran turbid pekat. Arus turbid itu sendiri mungkin merupakan produk nendatan bawahlaut yang pembentukannya mungkin dipicu oleh gempabumi. Meskipun sebagian besar ahli geologi menyetujui konsep arus turbid, namun ada juga ahli-ahli yang tidak menyetujuinya (van der Lingen, 1969; Hubert, 1966). Untuk merngetahui dua pandangan yang bertentangan itu, para pembaca dipersilahkan untuk menelaah makalah-makalah tersebut serta pembahasan terhadap pandangan-pandangan tersebut oleh Kuenen (1967, 1970).

Graded bed mungkin terbentuk dengan cara lain. Sangat miripnya graded bed tipis dengan lanau dan pasir warwa dalam danau proglacial Plistosen mendorong sebagian ahli untuk berpendapat bahwa influks musiman material sedimen yang dikontrol oleh pelelehan musiman suatu gletser bertanggungjawab terhadap pembentukan graded bed. Pendapat seperti itu digunakan untuk menjelaskan graded bed yang ada dalam Sudbury Series di Ontario, Canada (Coleman, 1926), graded bed Arkean di Tempere, Finlandia (Simonen & Kuovo, 1951), serta graded bed Arkean di Danau Minnitaki, Ontario (Pettijohn, 1936). Penjelasan itu hampir dapat dipastikan tidak benar adanya dan gagasan itu diajukan sebelum dikembangkannya konsep arus turbid. Jika graded bed merupakan endapan musiman, maka ketebalannya akan mengimplikasikan laju pengendapan yang sangat tinggi. Padahal implikasi seperti itu kurang masuk nalar. Meskipun sebagian sedimen danau Plistosen diketahui mengandung warwa pasir yang tebal, namun graded bed tua tidak mungkin diendapkan dengan cara itu. Satu hal yang memperlemah penjelasan itu adalah tidak ditemukannya dropstone yang merupakan indikator paling kuat dari endapan glaciolacustrine atau glaciomarine.

Kuenen (1953) dan Sujkowski (1957) memperkirakan bahwa suatu graded bed dipisahkan dari graded bed lain yang terletak di atas atau dibawahnya oleh rentang waktu beberapa ratus tahun hingga beberapa ribu tahun. Graded bed merekam peristiwa yang sangat singkat. Lapisan-lapisan pelit yang berselingan dengan graded bed merupakan endapan “asli” dari cekungan dan terakumulasi dengan laju yang sangat lambat.

Meskipun sebagian graded bed yang terisolasi dan sporadik dapat dihasilkan oleh letusan gunungapi, banjir besar, atau badai, namun sebagian besar graded bed bahari yang repetitif hampir dapat dipastikan merupakan produk aliran turbid. Graded bed yang dihasilkan oleh proses-proses lain agaknya relatif jarang, dan kemungkinan besar bersifat soliter, serta berbeda dalam strukturnya atau gejala-gejala lain yang berasosiasi dengannya sedemikian rupa sehingga kemungkinan besar kita tidak akan tertukar dengan grading yang dihasilkan oleh arus turbid. Pengecualian untuk itu adalah batulanau tipis, berlapis rata, dan berbutir halus. Pembedaan antara endapan-endapan itu dengan sedimen musiman mungkin tidak begitu mudah.

Asal-usul graded bed sangat erat kaitannya dengan masalah turbidit. Karena itu, untuk mendapatkan pembahasan yang lebih mendetil mengenai graded bedding, para pembaca disarankan untuk membaca karya-karya tulis yang lebih komprehensif mengenai turbidit (Bouma, 1962; Bouma & Brouwer, 1964; Walker, 1970).

4.3.4.4 Growth bedding

Istilah growth bedding disini diterapkan pada stratifikasi yang dihasilkan oleh aktivitas organisme secara in situ atau presipitasi kimia in situ pada bidang akumulasi. Growth bedding berbeda dengan tipe-tipe perlapisan yang telah dijelaskan di atas, karena semua tipe perlapisan yang telah dijelaskan di atas dibentuk akibat ditempatkannya partikel-partikel komponen lapisan pada rangka batuan oleh aksi arus. Dengan demikian, growth bedding boleh dikatakan merupakan lawan dari current bedding. Growth bedding secara khusus mencirikan batugamping serta banyak endapan travertin dan tufa.

Tipe growth bedding yang agaknya paling penting adalah perlapisan stromatolit (stromatolitic bedding). Perlapisan stromatolit banyak ditemukan dalam batugamping Paleozoikum awal dan Prakambrium. Karena tipe perlapisan ini berkaitan dengan pembentukan dan sifat-sifat algamat (algal mat), maka perlapisan itu sebagian mengandung sifat-sifat struktur sedimen dan sebagian lain mengandung sifat-sifat fosil. Hal itu mirip dengan lubang galian (burrow), trail, dan track. Karena itu, pem-bahasan yang lebih mendalam mengenai perlapisan stromatolit akan disajikan dalam struktur biogenik
Banyak material presipitasi—travertin, oniks (onyx), berbagai tipe tufa, dan caliche—memperlihatkan banding atau stratifi-kasi. Sebagian diantaranya mirip dengan perlapisan stromatolit (Westphal, 1957). Tipe perlapisan ini umumnya berkaitan dengan kemas kristal dan dengan beberapa tipe perlapisan diagenetik (diagenetic bedding), khususnya untuk beberapa tipe caliche (Multer & Hoffmeister, 1968).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar